Menjadi ada kembali (Pali: punabbhava; Skt: punarbhava; Jawa: tumimbal) adalah keberadaan, keberlanjutan atau berlangsungnya kembali kehidupan makhluk  di alam kehidupan (Pali, Skt: saṃsāra – lingkaran hidup dan mati) setelah mengalami kematian.

Menjadi ada kembali, dalam bahasa Pali adalah punabbhava yang berasal dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” berarti “lagi” atau “kembali”, sedangkan kata “bhava” berarti menjadi ada/eksis. Jadi, secara harfiah, punabbhava berarti menjadi ada/eksis lagi.

Lahir kembali atau perwujudan kembali (Pali: punaruppatti; Skt: punarutpatti) adalah terlahirnya kembali makhluk menjadi makhluk jenis tertentu setelah mengalami kematian, dengan proses kemunculan dan bangkitnya kesadaran pada tahap konsepsi, pembentukan, terwujudnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan perolehan landasan-landasan indra.[1]

Lahir kembali, dalam bahasa Pali adalah punaruppatti yang berasal dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”uppatti”. Kata ”puna” berarti “lagi” atau “kembali”, sedangkan kata ”uppatti” berasal dari kata “uppajjati” yang berarti “muncul keluar” atau “terlahir” atau “mewujud” yang berhubungan dengan kata “jāti” berarti “lahir”. Jadi, secara harfiah punaruppatti berarti muncul keluar kembali atau lahir kembali.

Suatu makhluk menjadi ada (bhava) tidak lepas dari lahir (uppatti/ jāti) karena keduanya memiliki hubungan sebab akibat.

Dalam Empat Kebenaran Arya (Empat Kebenaran Mulia), lahir (jāti) atau kelahiran adalah dukkha (keluh kesah, penderitaan).

Kelahiran disebut sebagai dukkha karena pada dasarnya kelahiran itu sendiri adalah perpaduan yang menghasilkan suatu makhluk, dan  segala yang terbentuk dari perpaduan memiliki sifat tidak tetap (aniccā) dan bersifat keluh kesah (penderitaan, dukkha)

Penyebab Menjadi Ada dan Lahir Kembali

Menjadi ada dan lahir kembalinya suatu makhluk hidup di kehidupan selanjutnya merupakan akibat dari adanya perbuatan (Pali: kamma; Skt: karma) penyebab lahir kembali yang telah dilakukannya pada kehidupan sebelumnya. Ini berarti kelahiran kembali bukan sesuatu yang mesti terjadi, bukan suatu takdir yang harus dijalani oleh setiap makhluk hidup.

Selama ada perbuatan penyebab lahir kembali yang dilakukan suatu makhluk, maka ia pasti menjadi ada dan dilahirkan kembali. Tetapi, ketika tidak ada perbuatan penyebab lahir kembali yang dilakukan maka ia tidak akan menjadi ada dan dilahirkan kembali. Mereka yang telah mencapai Pencerahan Sempurna tidak lagi melakukan perbuatan penyebab lahir kembali dalam hidupnya, sehingga mereka tidak akan dilahirkan kembali setelah mereka.

Dalam 12 Nidāna[2], kelahiran didahului atau disebabkan oleh proses menjadi ada/eksis.  Ketika ditautkan ke belakang, proses menjadi ada/eksis disebabkan oleh adanya kemelekatan (Pali: upādāna) yang muncul karena adanya kehausan/ketagihan (Pali: taṇhā) yang diawali dengan adanya ketidaktahuan/kebodohan batin (Pali: avijjā).

Jadi, makhluk hidup apa pun yang mengalami proses menjadi ada/eksis dan lahir kembali, merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya.

Karena ketidaktahuan/kebodohan batin (Pali: avijjā) seseorang,  disadari atau tidak disadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatunya itu.

Proses Menjadi Ada dan Lahir Kembali

Dalam proses kelahiran kembali (Inggris: rebirth), tidak terjadi suatu perpindahan roh/jiwa/kesadaran ke dalam jasmani yang baru.  Yang terjadi dalam proses kelahiran kembali adalah adanya proses kesinambungan dari batin pada kehidupan lampau yang berubah menjadi kesadaran kehidupan baru. Proses kesinambungan ini merupakan suatu bentuk aksi-reaksi. Oleh karena itu proses kelahiran kembali sangatlah berhubungan dengan proses kematian itu sendiri. Dan kedua proses yang berhubungan dengan batin ini sangatlah kompleks.

Dalam Satta Sutta [3] sesuatu disebut sebagai makhluk hidup karena merupakan perpaduan dari lima kelompok (Pali: pañca khandha; Skt: pañca skandha), yang kelimanya dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama yaitu jasmani atau fisik dan yang kedua adalah batin.[4] Baik fisik maupun batin ini tidak terlepas dari hukum perubahan, suatu saat muncul dan saat kemudian mengalami pemadaman/mati. Batin sendiri terdiri dari perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran.[5] Unsur-unsur batin ini sering disebut juga sebagai citta atau kesadaran sebagai istilah teknisnya. Batin atau citta ini mengalami kemunculan, pemisahan dan pemadaman/mati.

Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi untuk mendukung batin. Kemudian batin/citta/kesadarannya pun mengalami pemadaman/kematian. Proses dan waktu kematian yang diperlukan oleh jasmani dan batin dalam setiap individu berbeda-beda.

Saat menjelang kematian batin,  secara otomatis ia meneruskan kesan apapun yang tertanam padanya kepada batin penerusnya yang tidak lain merupakan batin/citta/kesadaran pada kehidupan yang baru. Penerusan Kesadaran (paṭisandhi viññāṇa) ini terjadi dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.

Ketika jasmani mengalami kematian dalam batin orang yang sekarat, muncul kesadaran yang bernama Kesadaran Ajal (Pali: cuti citta). Ketika Kesadaran Ajal mengalami pemadaman juga, maka orang tersebut dikatakan sudah meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan pula (tanpa selang/jeda waktu) batin/citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan dengan jasmani yang baru berupa janin atau sesuai dengan hasil kamma-nya masing-masing. Keseluruhan proses dari mati kemudian menjadi ada kembali terjadi dalam waktu yang sangat singkat.

Perumpamaan LilinImage result for candle

Dalam proses menjadi ada dan lahir kembali tidak adanya peristiwa perpindahan jiwa/roh/kesadaran. Hal ini dapat diperumpamakan seperti sebuah api lilin. Ketika kita melihat sebuah api yang menyala pada sebuah lilin tampak apinya sama saja walaupun telah satu jam telah berlalu. Tidak tampak adanya api dari lilin lain yang menggantikannya. Yang jelas tampak oleh kita adalah memendeknya ukuran lilin tersebut. Tetapi apakah ini berarti api yang menyala tersebut merupakan api yang sama dengan api yang kita lihat satu jam yang lalu? Jawabannya adalah tidak sama.

Jika kita perhatikan secara seksama, api pada lilin tidak akan hidup tanpa adanya unsur-unsur pendukung seperti batang lilin, sumbu, dan udara (oksigen). Api yang menyala tersebut ternyata merupakan api yang berbeda karena tiap saat disokong oleh bagian dari batang lilin, sumbu dan molekul-molekul udara yang berbeda. Meskipun disokong oleh unsur-unsur yang berbeda, tetapi api tersebut tetap menyala tanpa perlu padam kemudian menyala lagi. Dengan kata lain adanya proses yang berkesinambungan.

Api disini tidak lain adalah batin/kesadaran, batang lilin dan sumbu adalah jasmani, dan udara adalah kamma. Jasmani dan kamma adalah penyokong keberlangsungan batin/kesadaran.

Tiga Kondisi Terjadinya Kelahiran

Dalam Mahātaṇhāsaṅkhaya Sutta, dijelaskan:

“Para bhikkhu, kemunculan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba-dalam kasus ini tidak ada kemunculan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba-dalam kasus ini juga tidak ada kemunculan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini maka kemunculan janin dalam rahim terjadi.”[6]

Jadi ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sehingga terjadi suatu kelahiran, khususnya pada kelahiran manusia, yaitu: adanya sepasang (calon) orang tua yang subur, adanya hubungan intim dari sepasang (calon) orang tua, dan adanya makhluk yang siap untuk terlahir (gandhabba). Istilah “gandhabba” berarti “datang dari tempat lain”, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang diteruskan dari jasmani yang telah mati.

Ketika jasmani mati, batin juga mengalami kematian dengan mengalami perubahan dan langsung muncul pada sel telur dari (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai “sifat bawaan” dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma vipaka) kehidupan lampau. Demikian pula perbuatan-perbuatan seseorang selama hidup akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.

Empat Jenis Keturunan

Ada empat jenis keturunan makhluk hidup yang telah dijelaskan di dalam Mahāsīhanāda Sutta:

“Sāriputta, terdapat empat jenis keturunan ini. Apakah empat ini? Keturunan yang terlahir dari telur (aṇḍajā yoni), keturunan yang terlahir dari rahim (jalābujā yoni), keturunan yang terlahir dari kelembapan (saṃsedajā yoni) , dan keturunan yang terlahir spontan (opapātikā yoni). “Apakah keturunan yang terlahir dari telur? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan cangkang sebutir telur: ini disebut keturunan yang terlahir dari telur. Apakah keturunan yang terlahir dari rahim? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan selaput pembungkus janin: ini disebut keturunan yang terlahir dari rahim. Apakah keturunan yang terlahir dari kelembapan? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir di dalam ikan busuk, di dalam mayat busuk, di dalam bubur busuk, di dalam lubang kakus, atau di dalam saluran air: ini disebut keturunan yang terlahir dari kelembaban. Apakah keturunan yang terlahir spontan? Terdapat para dewa dan para penghuni neraka dan manusia-manusia tertentu dan beberapa makhluk di alam rendah: ini disebut keturunan yang terlahir spontan. Ini adalah empat jenis keturunan.”[7]

Alam Kehidupan (Loka)

Setiap makhluk yang dilahirkan kembali akan terlahir di salah satu dari 31 alam kehidupan (loka, bhūmi) sesuai dengan kammanya. Mereka yang cenderung banyak melakukan kamma buruk pada umumnya akan terlahir di alam-alam rendah atau alam penderitaan. Sedangkan mereka yang cenderung banyak melakukan kamma baik pada umumnya akan terlahir di alam-alam tinggi atau alam bahagia.

Secara garis besar 31 alam kehidupan dibagi menjadi lima bagian yaitu: terdapat empat alam kemerosotan (apāya loka), satu alam manusia (manussa loka), enam alam dewa (devā loka), enam belas alam brahma berbentuk (rūpa loka), dan empat alam brahma tanpa bentuk (arūpā loka).

Apāya loka (Apāyabhūmi) yang terbentuk dari tiga kosakata, yaitu “apa” yang berarti tanpa atau tidak ada, “aya” yang berarti kebajikan. Alam ini juga sering disebut dengan  “duggati“. Istilah “duggati” terbentuk dari dua kosakata, yaitu “du” yang berarti jahat, buruk, sengsara; dan “gati” yang berarti alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan dilahirkan kembali. Apāya loka adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Apāya loka terdiri dari empat alam, yaitu: alam neraka (niraya), alam hewan (tiracchāna), alam hantu (peta), alam asura (asurakāya). Karena tidak semua hewan hidup dalam kesengsaraan, alam hewan tercakup dalam duggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.

Manussa loka (Manussabhūmi) terbentuk dari dua kosakata, yaitu “manussa” dan “loka“. Kata “manussa” terdiri dari dua kosa kata yaitu “mano” yang berarti pikiran, batin; dan “ussa” yang berarti tinggi, luhur, meningkat, berkembang. Jadi manussa loka berarti alam tempat tinggal manusia.

Devā loka (Devābhūmi) disebut juga alam surga (sugati). Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidakekkalan. Alam surga terbagi menjadi enam alam, yaitu: Cātummahārājika, Tāvatiṃsa, Yāma, Tuṣita, Nimmānaratī, dan Paranimmitavasavattī.

Rūpa loka (Rūpābhūmi) merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhana (pemusatan pikiran yang kuat dalam memegang obyek) yang luhur. Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu: tiga alam bagi peraih Jhana Pertama (Pathama), tiga alam bagi peraih Jhana Kedua (Dutiya), tiga alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya), dua alam bagi peraih Jhana Keempat (Catuttha), dan lima alam Suddhāvāsa. Alam Suddhāvāsa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari napsu birahi (kāmarāga) dan sebagainya, mereka adalah para Anāgāmī (tingkat kesucian ketiga)[8] yang berhasil meraih pencerapan Jhana Kelima.

Arūpā loka (Arūpābhūmi) merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tidak ada keinginan untuk menginginkannya.

Menghentikan Kelahiran Kembali

Setelah mencapai Pencerahan Agung, Sri Buddha memekikkan pekik kemenangan,

”Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini. O, pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (Nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”

(Dhammapada 153-154)[9]

Bagi mereka yang telah sadar, mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi, menjadi ada dan kelahiran kembali merupakan suatu proses yang melelahkan dan menyakitkan seperti yang diucapkan oleh Sri Buddha dalam pekik kemenangan tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang telah sadar, mereka akan berusaha melepaskan diri dari proses kelahiran kembali. Dan bagi mereka yang telah mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana), tidak akan lagi mengalami menjadi ada dan lahir kembali.

Menjadi ada dan lahir kembali bukan suatu takdir yang harus dijalani oleh setiap makhluk hidup. Menjadi ada dan lahir kembali terjadi karena ada penyebabnya. Dan ketika penyebabnya telah dihilangkan, maka tidak akan ada lagi menjadi ada dan lahir kembali.

Hal itu sesuai dengan hukum atau prinsip Kemunculan Ketergantungan (Pali: paṭiccasamuppāda; Skt: pratītyasamutpāda), yang menyatakan bahwa: “Dengan adanya ini maka ada itu; dengan tidak adanya ini maka tidak ada itu” (imasmiṃ sati idaṃ hoti, imasmiṃ asati idaṃ na hoti), maka untuk menghentikan proses menjadi (kelahiran kembali) perlu meniadakan atau melenyapkan penyebab dari proses menjadi tersebut. Penyebab dari proses menjadi tersebut tidak lain adalah taṇhā (kehausan/ketagihan) dan avijjā (ketidaktahuan/kebodohan batin) yang ada pada diri seseorang.

Jalan atau cara melenyapkan taṇhā  dan avijjā  adalah dengan melaksanakan kemoralan (sīla), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (paññā) yang terdapat dalam Jalan Arya Berunsur Delapan. Dengan menjalankannya, seseorang nantinya bukan hanya terbebas dari kemunculan dan kelahiran kembali, tetapi juga dapat merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana).

– Selesai –

Catatan:

[1] Vibhaṅga Sutta, Saṃyutta Nikāya 12.2 (Saṃyutta Nikāya: Nidānavagga: Nidāna Saṃyutta: Buddhavagga 2 {Nidānavagga 2} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.

[2] 12 Nidāna adalah 12 tautan sebab-musabab yang saling bergantungan dari keberadaan makhluk hidup. Tautan ini merupakan penerapan dari Hukum Paṭiccasamuppāda.

[3] Satta Sutta, Saṃyutta Nikāya 23.2 (Saṃyutta Nikāya: Kandhavagga: Rādha Saṃyutta: Paṭhamamāravagga 2 {Kandhavagga 161} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.

[4] jasmani/fisik (Pali, Skt: rūpa); batin (Pali, Skt: nāma).

[5] perasaan (Pali, Skt: vedanā), pencerapan (Pali: saññā; Skt: saṃjñā), bentuk-bentuk pikiran (Pali: saṅkhāra; Skt: saṃskāra), dan kesadaran (Pali: viññāṇa; Skt: vijñāna).

[6] Mahātaṇhāsaṅkhaya Sutta, Majjhima Nikāya 38 (Majjhima Nikāya: Mūlapaṇṇāsa: Mahāyamakavagga 8 {Mūlapaṇṇāsa 396-414} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.

[7] Mahāsīhanāda Sutta, Majjhima Nikāya 12 (Majjhima Nikāya: Mūlapaṇṇāsa: Sīhanādavagga 2 {Mūlapaṇṇāsa 146-162} versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD), Kanon Tipitaka Pali.

[8] Secara harfiah anāgāmī berarti tidak kembali. Anāgāmī merujuk pada mereka yang telah mencapai tingkat kesucian ketiga, yang setelah meninggal tidak akan lahir kembali lagi di alam manusia maupun alam lainnya selain alam Suddhāvāsa. Di alam Suddhāvāsa, mereka yang telah mencapai tingkat Anāgāmī dilahirkan dan mencapai tingkat Arahatta yaitu tingkat kesucian keempat dan tertinggi.

[9] Khuddaka Nikāya: Dhammapada: Jarāvagga 8-9 , versi Chaṭṭha Saṅgāyana CD-ROM – CSCD, Kanon Tipitaka Pali.

Referensi:

  1. Y.M. Bhikkhu Profesor Dhammavihari, Punabbhava atau Punaruppatti? Is there a question here? (Tesis), University of Ceylon, metta.lk
Write a comment:

*

Your email address will not be published.

© 2024 Vihara Girinaga Powered by Siddhi Makassar

Follow us:
Top